De Javu


Senja makin merona saat Dita mulai menyusuri trotora di kota kecil itu. Daun daun musim panas berguguran diterbangkan angin .  Udara mencapai 18 ℃. Sungguh dingin bagi seseorang yang baru saja datang dari Jogjakarta yang terkenal bercuaca panas. Dirapatkannya lagi  jaket merah yang membalut tubuhnya. 
Pelan pelan Dita melangkahkan kaki sambil mengingat ingat kembali setiap sudut yang dikenalnya. Ah kota ini telah begitu banyak berubah. Agak susah mengingat detil keseluruhannya. Terlalu banyak pembangun yang mengaburkan ingatannya. Toko toko makin banyak didirikan. Makin ramai dan makin banyak pengunjung berjalan kaki di trotoar. Bahkan kaki lima pun berjamuran tak terkendali di bahu jalannya. 
Padahal dulu, jam jam seperti ini jalanan ini hanya dikuasai oleh siswa-siswi yang baru pulang sekolah siang. Tak terlalu padat, hanya cukup menghangatkan jalanan. Saat-saat seperti itulah yang sangat dirindukannya. Saat berjalan bersama kawan-kawan bercengkrama di sepanjang jalan. Dunia serasa dikuasai sendiri. Masa masa SMA memang selalu manis untuk dikenang. 
Dan alasan itulah yang mampu membuatnya kembali ke kota ini setelah sekian lama ditinggalkan. 
Dita masih terpana dengan pemandangan di sekitar ketika tiba tiba bulir bulir bening menjatuhi kepalanya. Rupanya gerimis mulai menurunkan bulirnya. Ah, di masa lalu gerimis seperti ini tak akan mampu membuat para gadis SMA untuk menepi. Mereka malah tambah asyik berjalan menikmati siraman segar dari surgawi. Senja dengan gerimis dan sedikit kabut selalu membuatnya kembali rindu. 
Tapi tidak kali ini. Tentu akan sangat berbahaya jika semua stok pakaian gantinya basah oleh hujan. Karena nya Dita buru buru masuk pada sebuah cafe tak jauh dari tempatnya berdiri. Beruntung Dita mendapat sebuah kursi yang menghadap langsung ke jalan. Dia bisa dengan leluasa meneruskan romantisme nya.  Dia memesan segelas capucino hangat dan setampuk roti kukus yang lama dirindukannya. 
“Semua kata rindumu semakin membuatku tak berdaya. Menambah rasa ingin jumpa. Percayalah padaku aku pun rindu kamu ku akan pulang. Melepas semua kerinduan yang terpendam.”  Samar samar lagu kenangan terdengar dari pengeras suara dalam cafe. Lagu lawas seakan memahami apa yang ada dalam lamunannya. 
Gerimis telah lama mereda. Tapi Dita masih betah duduk di sana hingga tiba tiba darahnya terkesiap. Sosok atletis yang diseberang jalan itu, bukankah dia sangat mengenalnya? Betulkah itu sosok yang sama ? Tak berkedip mata Dita mengikuti gerak tubuh pria berkemeja biru muda dengan rompi merah ati itu menyeberang jalan dan masuk ke dalam cafe yang sama. Gaya berjalan nya sangat mirip dengan Roy. Pria yang menjadi salah satu alasannya kembali ke kota ini. 
Hati Dita makin dag dig dug saat pria itu melangkah ke mejanya.  Kemudian duduk persis di barisan kursi yang menghadap ke arahnya. Hanya berbeda satu baris saja. Sejenak kemudian Dita menahan nafasnya tak percaya. Sungguh sungguh tak percaya dengan kenyataan dihadapannya. Sosok itu, postur tubuh yang sama, gaya berjalan yang sama, rompi merah ati yang serupa. Bahkan aroma tubuhnya pun nyaris sama. Tapi mengapa wajah pria yang duduk di seberangnya bukanlah pria yang diharapkannya. 
Hampir tak percaya Dita dibuatnya. Bukan, dia bukanlah Roy. Dia hanya pria yang menyerupai kekasih dalam diamnya. Ini hanya dejavu semata.

Posting Komentar

0 Komentar