Ibu Pembelajar (sebuah cerpen) bagian 3

Tersenyum aku mendengar celotehan nya akan kesibukanku. Rupanya selama ini dia memperhatikan apa yang kulakukan.
“Emang adek gak suka gitu kalo mama belajar ?” selidik suamiku lagi
“Gak, sih. Cuman pengen tau aja.” Jawabnya tanpa beban.
“Mama itu belajar buat bekal nemani kita, dek.” Kakak yang baru masuk ke rung tengah tiba-tiba ikut menanggapi.
“Makanya mama kita kan jadi mama yang asyik. Selalu punya ide yang asyik buat ngajak main kita, selalu punya cara buat ngajarin kita dengan mudah. Mama tuh jadi selalu tau apa aja jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kita kan, dek ?” lanjut kakak yang mengambil tempat duduk diantara adek dan ayahnya.
“Iya, ya kak. Yang pasti mama kita gak pernah cerewet. Gak pernah marah-marah gak jelas. Hihihi...” sambung adek sambil cekikikan.
“Iya bener, dek. Mama kita mah sabar.” 
“Aku sayang banget ama mama.” Sisi melankolis nya si adek mulai muncul.
“Yang pasti satu hal yang harus kalian contoh dari mama kalian. Buat mama, belajar itu bisa dimana aja. Mama kalian senang belajar dimana aja. Belajar itu kan gak perlu hanya di sekolah aja. Bahkan di kehidupan nayata seperti ini lah sebetulnya akan lebih banyak hal yang perlu dipelajari. “ jelas suamiku panjang lebar. 
Dalam hati aku berbunga bunga mendengar penjelasn darinya. Jarang-jarang dia mengomentari kegiatan-kegiatan belajar ku. 
“ jadi kalian pun sama, ya. Harus rajin belajar. Jangan menyerah. Terus gali ilmu di mana pun kalian berda.” Tutup suamiku memberi motivasi bagi kedua anaknya. 
Diskusi tadi mengantarkanku pada pengalaman sepuluh tahun yang lalu. Saat itu, kakak masih berusia empat tahun. Anak kecil bertubuh mungil, dengan bibir merah dan kulit yang putih. Paras yang tampan membuatnya kerap menjadi perhatian orang yang memandang. Sekilas orang pasti menganggapnya anak yang pendiam. Tak banyak bicara, dan pemalu. Tak mudah baginya untuk berkenalan dengan orang yang baru dikenalnya. Jika diajak ke tempat yang belum dikenal, dia hanya akan bersembunyi di balik badan orang tuanya. Malu, takut, tak mau memperlihatkan diri. Butuh setidaknya waktu rata-rata setangah jam sampai kemudian dia mau keluar dari persembunyiannya. 
Tapi tampilan itu akan berbeda seratus delapan puluh derajat di sekolahnya. Di Tk, dia akan berubah menjadi anak yag super aktif. Teramat sangat aktif sehinga bahkan tak jarang orang melabeli nya sebagai anak yang hiper aktif. Tak bisa diam. Berlari ke sana kemari, melompat, memanjat, bergulingan, terus menerus dengan aktifitas fisik yang tak kunjung usai. Seperti tak pernah kehabisan energi. 
Beberapa kali bunda guru mengingatkan bahkan sampai menegurnya agar bisa duduk diam. Tapi pada kenyataannya hal tersebut tak pernah dapat membuat kakak berhenti dan duduk diam. Sebab bahkan di dalam kelas pun dia tak pernah bisa lama lama duduk diam. Beberapa kali pihak sekolah memanggil ku menghadap untuk menyelesaikan masalah tersebut. 
Hal ini tentu saja membuat diriku terguncang. Aku, yang saat itu masih aktif bekerja, sebagai asisten manager di kantor milik suami. Tentu sangat menjaga images di hadapan teman dan terlebih tetangga, serta orang orang di sekitar. Tapi, kelakuan kakak di sekolah yang tak jarang membuat ketidaknyamanan teman-teman yang lain. Membuatku jadi akrab dengan ruan konsultasi di sekolah. 

Posting Komentar

0 Komentar