Mengembalikan pada hati

Dalam kajian ust Aad chapter 2 tentang feninitas dijabarkan tentang harusnya kita sebagai wanita banyak banyak menggunakan hati dan menjauhkan hal hal yang menggelisahkan.
Saya entah bagaimana ceritanya, dengan berbagai macam latar belakang di masa lalu. Membuat saya dipaksa untuk tidak boleh sering sering menggunakan hati dalam bertindak sehari hari. Karena jika melibatkan hati, maka saya akan banyak menelan kekecewaan. Hal tersebut membuat saya tumbuh dengan berpura pura maskulin. Menyekesaikan segala sesuatu dengan otak. Dengan pikiran. Bukan lagi perasaan.
Walau hal tersebut bertentangan dengan hati.

Akhirnya orang mengenal saya sebagai seorang yang maskulin. Gak punya perasaan.
Ah...sendainya saja mereka tau, bahwa sebetulnya saya tidak demikian. Saya mungkin tidak mudah merasakan perasaan orang lain di depan. Tapi sesungguhnya saya  Gak tegaan, gak enakan, dan gampang sekali tersakiti hatinya. Hanya saja diam diam semua perasaan itu menjadi pikiran saya saaat menyendiri. Saat tak ada seorang pun yang tau.

Menerima kajian dari ustadz perlahan lahan membuat saya sadar kembali bahwa saya harus banyak banyak kembali kepada hati saya. Saya harus kembali pada fitrah saya sebagai seorang wanita. Melibatkan hati. Banyak banyak bertanya pada hati.
Dan beberapa waktu belakangan ini saya mulai menerima sedikit demi sedikit fitrah saya yang sesungguhnya sebagai orang yang lebih feminin. Lebih banyak bertanya pada hati.

Dan memang betul, banyak hal hal yang terjadi tanpa bisa dinalarkan.
Misalnya saja tentang kesempatan mengikuti kajian2 dan seminar, ketika hati saya mengatakan  ambil, ikut saja, daftar saja, walau saya gak tau dari mana biayanya. Tapi saat dibutuhkan, alhamdulillah Allah sediakan rejekinya. Jika saya mengikuti akal pasti saya akan ketinggalan kesempatan tersebut.

Begitupun pengalaman saat kemarin saya harus ikut family camp di Bogor. Saat itu Fawwaz demam sampai 38°c. Harusnya acara itu saya batalkan. Apalagi tenpatnya jauh. Tapi saat itu hati saya mengatakan ikut saja, Fawwaz gak apa apa. Saya ikuti hati saya dan berangkat. Sampai di Jakarta, Fawwaz masih sakit. Suami marah dan menyuruh segera pulang. Hati saya mengatakan tidak. Fawwaz akan  segera pulih. Walau ada sedikit masalah kurang enak dengan suami.
Kenyataannya perasaan saya terbukti betul. Esoknya Fawwaz sehat walafiat. Malah camping membuat dia segar ceria.

Masih banyak lagi cerita cerita lain yang makin hari saya belajar untuk lebih mengikuti kata hati. Perlu lebih banyak belajar lagi agar hati menjadi lebih peka.  

Saat ini saya makin sadar, sebagai wanita saya harus banyak belajar lagi menggunakan hati. Menggunakan perasaan dan mempercayainya. Lebih dari sekedar logika. Karena itulah fitrahnya manusia. Belajar lagi menggunakan hati. 
Tak akan mudah buat saya. Tentu saja. Ini adalah sebuah tantangan agar saya bisa kembali menjadi wanita yang feminim. Wanita dengan hati.

Bagaimana pun memang wanita dianugerahi perasaan, insting yang kuat. Yang kadang tak dapat dijelaskan dengan nalar. Tapi hal tersebut sering benar dan terbukti nyata. Itulah kekuatan hati. Fitrah wanita.

Hanya saja jalan menuju kesana, saya perlu menyelesaikan permasalahan permasalahan yang saya miliki di masa lalu. Karena ini berhubungan dengan maslah besar dalam hidup saya. Tentang masa kecil yang kelam, tentang kasih sayang yang tak pernah datang. 
 Ah iya, tentang kasih sayang. Begitu hausnya saya akan kasih sayang itu. Kasih sayang yang tanpa batas, tanpa ada apapun dibelakangnya. Karena selama ini ternyata kasih yang saya dapat itu selalu saja ada sebabnya. Yang tulus dan murni itu baru dari anak anak semata.. sedaang saya perlu kasih sayang seorang dewasa tanpa kompromi. yang tulus bagai hangatnya sinar mentari.

Saya perlu seseorang untuk membantu saya memperbaikinya. 

semoga Allah SWT mudahkan jalan bagi saya menyelesaikannya.

Posting Komentar

0 Komentar