Perjalanan Menemukan Design Jati Diri Keluarga-1


Alhamdulillah hari itu, saya dan suami berkesempatan mengikuti workshop Design Jatidiri Keluarga yang dibimbing oleh ustadz Adriano Rusfi. Workshop berjalan satu hari setengah di Hotel Citarum, Bandung. Diselenggarakan oleh Aqil Baligh Institute pada tanggal 2-3 Juli 2022. 

Kisah perjalanan bagaimana agar kemudian pak suami bersedia duduk tenang selama sehari setengah adalah kisah yang lain. Dalam tulisan kali ini saya hanya akan membahas tentang bagaimana perjalanan dalam workshop yang kemudian membuat kami pada akhirnya memiliki sebuah visi keluarga, sebuah nama keluarga, dan tagline keluarga yang gue banget.

Workshop dimulai pada hari Sabtu pukul 13.00. Pada setengah hari tersebut diisi dengan materi-materi yang menjelaskan tentang latar belakang mengapa sebuah keluarga perlu menjadi sebuah tim, sebuah organisasi. 

Dijelaskan dalam ceramah pembuka ini bagaimana pentingnya peran keluarga sebagai unit peradaban terkecil. Keluarga pula lah sebetulnya yang menjadi pondasi atau batu bata dari bangunan ummat. Karena memang untuk membangun sebuah peradaban itu memerlukan perjuangan yang panjang yang melibatkan lintas generasi. Dan hal ini hanya akan dapat mudah dibentuk dari keluarga. 

Sebagai pondasi ke-ummat-an, peran keluarga kini banyak di obok-obok oleh para perusak peradaban. Mereka mulai berusaha merusak tatanan keluarga. Salah satunya adalah dengan di sah kan nya RUU-PKS. Dimana disana diatur bagaimana pihak luar dapat ikut campur dalam tatanan dan value keluarga. Kebudayaan dan perkembangan zaman di saat ini pun menggempur ketahanan keluarga. 

Padahal, jika kita bicara tentang keluarga...

Anak adalah seorang ahli waris keturunan. Memiliki DNA yang sama dengan orang tua nya. yang artinya tentu saja memiliki banyak kesamaan. Tapi tak banyak keluarga yang menjadi bani, sebuah dinasti. Memiliki dreams, impian yang sama dari generasi ke generasi. Bahkan kenayakan keluarga keluarga di sekitar kita adalah keluarga yang memiliki siklus seperti gergaji. Ayah sukses, lalu menurunkan kesuksesan pada anak yang malah gagal, lalu cucu sukses, tapi cicit kembali gagal. Begitu terus. Jadi siklusnya naik turun. Tidak konsisten dan tidak stabil. Padahal mereka memiliki darah yang sama, DNA yang sama. Yang artinya memiliki potensi yang tak jauh beda. Mengapa fenomena ini terjadi? Karena keluarga tidak memiliki "The Family Dreams". Masing-masing berjalan sendiri-sendiri. 

Untuk itu, sebuah keluarga perlu memiliki visi, misi, nilai, budaya dan filosofi yang sama yang akan diturunkan terus menerus, dari generasi ke generasi.

Hal ini berlandaskan Q.S Al Baqarah : 124

"Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa perintah. Lalu ia tunaikan dengan sempurna. Sehingga Allah berfirman "Sesungguhnya Aku telah menjadikan engkau imam atas manusia". Ibrahim berkata : "Hendaklah janjiMu juga berlaku bagi anak keturunanku". Allah berfirman: "Janjiku tak berlaku bagi keturunanmu yang zalim"




Mencari, Menemukan dan Mendesain Jatidiri

Hari kedua workshop diisi dengan full praktek pembuatan visi,misi, nilai, budaya dan filosofi.

Motif

Hal pertama yang dicari adalah pertimbangan motif. Hal apa yang menjadi pertimbangan motif saat kami menikah dulu. Hal ini seru sekali untuk dibahas. Pada sesi ini, akhirnya kami jadi bernostalgia atas kejadian belasan tahun yang lalu. Karena bagaimana pun, pernikahan kami tergolong sebuah pernikahan yang unik. Hanya kurang lebih dua bulan saling mengenal, lalu kemudian memutuskan menikah. Adalah sebuah hal yang diluar kebiasaan. 

Kemudian terungkaplah apa motif dari kami masing masing. Sesuatu yang selama ini bahkan belum pernah saya utarakan pada siapapun. Saya sesjujurnya belum pernah menjalin hubungan dengan siapa pun. Gak pernah pacaran, walau ada beberapa nama pria yang mengisi hati. Tapi saya tidak pernah bernai mengungkapkannya pada siapa pun. Lalu saat bertemu si bapak, dan dia menjadi leader saya, itu adalah hal yang kemudian menjadi pertimbangan. Bagi saya yang saat itu sedang dalam keadaan tidak baik dengan keluarga. Tentu membutuhkan seseorang sebagai pelindung. Dan saya mendapatkannya dari dia. Dia pun saat itu telah promosi menjadi manager, yang saya harapkan akan dapat mendongkrak keadaan ekonomi saya saat itu. Lagi pula, haya dia lah pria yang berani mengungkapkan perasaannya pada saya, yang kemudian dia mengajak menikah. Lalu, mengapa tidak. Saya terima tanpa banyak bertanya. Sebuah kebodohan mungkin jika orang lain melihatnya. Tapi saya pribadi melihatnya sebagai sebuah petunjuk dari Allah SWT. 

Sedangkan si bapak sendiri, saat itu dalam keadaan patah hati oleh seseorang yang seharusnya dinikahinya, tapi kemudian berkhianat. Dia merasa sakit hati. Melihat saya yang menurutnya cukup cantik, baik, menarik dan juga pintar. Cocok dijadikan partner bukan hanya sebagai pasangan tapi juga dalam bisnis. Dengan tujuan untuk memperbaiki keturunan, memperbaiki perekonomian, dan keluar dari zona nyaman. Maka kami pun memutuskan untuk menikah.

Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pertimbangan motif adanya pernikahan kami adalah "Berlari meraih mimpi, membangun masa depan"

Given Factor

Selanjutnya adalah given factor. Atau factor-factor terberi dalam keluarga kami. Setelah dirunut ke atas, ada beberapa hal yang menjadi kesamaan dalam keluarga kami berdua. Kami sama sama berasal dari keluarga entrepreneur. Keluarga si bapak memang berasal dari keluarga dengan latar belakang entrepreneur yang kuat. Begitu pun keluarga saya. Memiliki darah entrepreneur yang kuat. Kakek adalah seorang pedagang besar, seorang agan agan penjual sukses. Dari keluarga di Majalaya pun adalah tuan tanah yang memiliki banyak bisnis di saat itu. Keluarga bapak pun sama. Kakek buyutnya adalah tuan tanah, pedagang besar di pasar, memiliki banyak kebun dan sawah. Begitu pun keturunan nya yang lain.  Darah seni pun mengalir deras dari keduanya, walaupun tidak pada saya dan si bapak. Akan tetapi, kakek saya adalah seniman keroncong. Beliau memiliki sebuah tim seni keroncong di saat dulu.Mengenai gambar, tentu saja. Bukankah ua-ua saya memiliki bisnis percetakan yang membutuhkan kemampuan seni di sana. Gambar menjadi seni yang kuat di kelurga saya. Sementara di keluarga bapak, yang paling terasa adalah seni musik dan suara yang indah. 

Given factor lain yang kuat adalah keluarga kami sama sama keluarga pejuang. Sedikit saya baca kisah tentang Paputungan adalah nama raja di Bolaang Mongondow. Seorang pejuang yang berusaha mempertahankan wilayahnya dari caplokan suku lain. Sementara ayah si bapak pernah terlibat Permesta yang kemudian bergabung kembali ke pangkuan RI. Sementara kakek dari saya adalah seorang pejuang kemerdekaan yang diakui dan memiliki surat pengakuan dari pemerintah. Darah perjuangan itu tidak berhenti di sana, karena kemudian ke bawahnya, anak anaknya menjadi para pejuang kehidupan yang tangguh. 

Persamaan lain adalah pengembara. Darah pengembara si bapak tentu saja kental. Para perantau adalah ciri khas di tanah si bapak. Orang Sunda sejatinya bukan perantau, akan tetapi darah perantau itu mengalir deras dari kakek yang sesungguhnya berasal dari daerah Jawa, yang kemudian menjadi pejuang, dan terdampar di Bandung. 

Given factor lainnya adalah kami masing-masing berasal dari keluarga yang cerdas dan tegar.  Walaupun bukan cerdas dalam artian persekolahan formal, tapi kami berasal dari keluarga yang cerdas secara lebih umum. Cerdas dalam menghadapi kehidupan. Terbukti keluarga kami dapat bertahan dengan segala kekurangan yang ada. Dapat mempertahan kan diri dan hidup dengan lebih baik. 

Perbedaan latar belakang dan budaya menjadi salah satu given factor dalam keluarga kami. Menjadi berwarna, dan pada akhirnya kami dapat saling mengisi kekurangan yang kami miliki. Saling belajar dan saling mengingatkan satu sama lain. 

Hal-hal given factor di atas, dapat disimpulkan bahwa given factor dalam keluarga kami adalah: "Seni Berjuang Cerdas Berbekal Potensi dan Nyali"


Masih banyak lagi hal yang kami gali untuk menemukan visi kelurga dalam workshop ini. Selanjutnya akan diceritakan di tulisan berikutnya ya....




Posting Komentar

0 Komentar